Ketika membaca berita mengenai kericuhan dalam rapat antara DPR dan Kejaksaan Agung belum lama ini, pikiran saya terdorong mengingat kembali teori Daniel Goleman seputar EQ untuk menganalisa perilaku pejabat tinggi dan politisi di pentas publik. Berdasar riset panjang, Goleman menyimpulkan, kecerdasan intelektual bukan faktor dominan dalam keberhasilan seseorang, terutama dalam dunia bisnis maupun sosial. Menurut Goleman, banyak sarjana yang cerdas dan saat kuliah selalu menjadi bintang kelas, namun ketika masuk dunia kerja menjadi anak buah teman sekelasnya yang prestasi akademiknya pas-pasan.
Lalu, apa kunci keberhasilan hidup?
Menurut dia, lebih banyak ditentukan oleh kecerdasan emosional, yaitu aspek-aspek yang berkait dengan kepribadian, yang di dalamnya setidaknya ada empat unsur pokok.
Pertama, kemampuan seseorang memahami dan memotivasi potensi dirinya.
Kedua, memiliki rasa empati yang tinggi terhadap orang lain.
Ketiga, senang bahkan mendorong melihat anak buah sukses, tanpa dirinya merasa terancam.
Keempat, asertif, yaitu terampil menyampaikan pikiran dan perasaan dengan baik, lugas, dan jelas tanpa harus membuat orang lain tersinggung.
Untuk mengukur apakah seorang pimpinan memiliki kecerdasan emosional tinggi, jangan diukur dengan titel kesarjanaan dan kepangkatannya, tetapi tanyakan pada mereka yang selalu berhubungan dengannya, entah itu sopir, satpam, pembantu rumah tangga, anak buah, keluarga, maupun teman. Dari merekalah akan terpantul citra kepribadian seorang pemimpin, terutama di saat-saat seseorang terkondisikan untuk marah.
Seberapa tinggi EQ seseorang mudah terlihat saat kritis, ketika suasananya tidak menguntungkan, bahkan dalam posisi terancam. Dengan tolok ukur ini kita mendapat kesan banyak pejabat tinggi yang EQ-nya rendah meski titel akademisnya tinggi, termasuk dalam penguasaan ilmu agama. Cirinya, pertama, jika bicara cenderung menyakiti dan menyalahkan pihak lain sehingga persoalan pokok tergeser oleh pertengkaran ego pribadi. Yang terjadi kemudian persoalan tidak selesai, bahkan bertambah.
Kedua, rendahnya motivasi kinerja anak buah untuk meraih prestasi karena tidak mendapat dorongan dan apresiasi dari atasan. Pimpinan dengan EQ tinggi akan mampu memotivasi diri, lalu beresonansi pada orang-orang di sekelilingnya, terutama anak buahnya. Berdasarkan pengalaman memberi pelatihan di lingkungan birokrasi pemerintahan maupun BUMN, ditemukan indikator kuat, hanya sedikit pemimpin yang mampu memberi motivasi kerja pada anak buahnya. Banyak pemimpin menjadi sasaran caci maki anak buah memajukan perusahaan.
BEGITU rendahnya EQ sebagian pejabat tinggi kita, tidak mengherankan jika produktivitas rendah, bahkan banyak terjadi kebocoran anggaran. Menjelang akhir tahun, yang menjadi agenda utama adalah bagaimana menghabiskan anggaran dan membuat laporan keuangan agar tampak mulus meski hasil kinerjanya minus. Situasi ini dipertegas hasil penelitian TII yang menyatakan perilaku korupsi birokrasi dan bisnis di Jakarta sudah amat parah. Orang bukannya dipacu untuk meraih prestasi kerja, tetapi dibuat pusing dan sibuk mengenal serta memberi servis pada orang-orang yang dekat dengan pengambil keputusan.
Banyak mahasiswa dan sarjana terkesan idealis saat di kampus, tetapi terhanyut begitu menjadi birokrat. Rasanya perlu dipikirkan adanya pecan orientasi sarjana sebelum wisuda. Isinya, memberi peringatan disertai data akurat bahwa setelah wisuda mereka akan memasuki dunia baru yang penuh ranjau dan lingkungan kerja serta sosial yang telah terkontaminasi virus korupsi dan manipulasi. Ini merupakan tugas akhir almamater, memberi peringatan dan tanggung jawab moral pada putra-putrinya agar memiliki komitmen untuk hidup terhormat, mengejar karier dengan panduan skill dan suara hati.
PARA psikolog mengatakan, rasa sukses dan bahagia akan diraih jika seseorang bisa menggabungkan setidaknya tiga kecerdasan, yaitu intelektual, emosional, dan spiritual.
1. IQ - KECERDASAN INTELEKTUAL.
Kecerdasan intelektual (IQ) berkait dengan keterampilan seseorang menghadapi persoalan teknikal dan intelektual. Jika pendidikan kita mengabaikan aspek keunggulan IQ, sulit bagi Indonesia untuk bersaing dalam bidang sains dan teknologi pada persaingan global.
Kini kita sudah merasakan betapa tertinggalnya kita dalam pendidikan sains. Pemerintah pun kurang melakukan penjaringan siswa berbakat untuk difasilitasi agar nanti menjadi ilmuwan tangguh.
2. EQ - KECERDASAN EMOSIONAL.
EQ yang tinggi akan membantu seseorang dalam membangun relasi social dalam lingkungan keluarga, kantor, bisnis, maupun sosial. Bagi seorang manajer, kecerdasan emosional merupakan syarat mutlak. Lagi-lagi amat disayangkan, pendidikan kita miskin konsep dalam membantu mengembangkan
EQ, bagi siswa maupun mahasiswa. Pelatihan EQ ini amat penting guna menumbuhkan iklim dialogis, demokratis, dan partisipatif karena semua menuntut adanya kedewasaan emosional dalam memahami dan menerima perbedaan. Pluralitas etnis, agama, dan budaya akan menjadi sumber konflik laten jika tidak disertai tumbuhnya budaya dialogis dan sikap empati.
3. SQ - KECERDASAN SPIRITUAL.
Tidak kalah penting, kecerdasan spiritual (SQ) yang berkait dengan masalah makna, motivasi, dan tujuan hidup sendiri. Jika IQ berperan memberi solusi intelektual-teknikal, EQ meratakan jalan membangun relasi sosial, SQ mempertanyakan apakah makna, tujuan, dan filsafat hidup seseorang.
Menurut Ian Marshall dan Danah Zohar, penulis buku SQ, The Ultimate Intelligence, tanpa disertai kedalaman spiritual, kepandaian (IQ) dan popularitas (EQ) seseorang tidak akan memberi ketenangan dan kebahagiaan hidup.
Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, berbagai pakar psikologi dan manajemen di Barat mulai menyadari betapa vitalnya aspek spiritualitas dalam karier seseorang, meski dalam menyampaikannya terkesan hati-hati. Yang fenomenal, tak kurang dari Stephen R Covey meluncurkan buku The 8th Habit (2004), padahal selama ini dia sudah menjadi ikon dari teori manajemen kelas dunia The Seven Habits. Rupanya Covey sampai pada kesimpulan, kecerdasan intelektualitas dan emosionalitas tanpa bersumber spiritualitas akan kehabisan energi dan berbelok arah.
Di Indonesia, krisis kepercayaan terhadap intelektualitas kian menguat saat bangsa yang secara ekonomi amat kaya ini dikenal sebagai sarang koruptor dan miskin, padahal hampir semua yang menjadi menteri maupun birokrat memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Asumsi bahwa kesarjanaan dan intelektualitas akan mengantar masyarakat yang damai dan bermoral digugat Donald B Caine dalam buku: Batas Nalar, Rasionalitas dan Perilaku Manusia yang sedang dibicarakan banyak orang. Mengapa bangsa Jerman yang dikenal paling maju pendidikannya dan melahirkan banyak pemikir kelas dunia pernah dan bisa berbuat amat kejam?Pertanyaan serupa bisa dialamatkan kepada Inggris, Amerika Serikat, dan
KEMBALI pada soal EQ. Teori ini valid untuk melihat perilaku dan
Namun satu hal pasti, kita mengharapkan negeri ini diurus oleh mereka yang cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual. Yaitu mereka yang kualitas akademisnya baik, mampu berkomunikasi sosial secara simpatik, inspiring dan motivating, serta memiliki komitmen kuat terhadap nilai-nilai spiritual sebagai panduan hidup. Jika ketiga kualitas ini tidak terpenuhi, sebaiknya minggir saja atau bangsa ini akan kian hancur oleh perilaku pemimpinnya sendiri.
*(Penulis: Komaruddin Hidayat Direktur Program Pascasarjana UIN
Jakarta/Pembina Sekolah Madania)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar